Minggu, 04 November 2012

ISD LOKAL


Pelajaran mengenai HIV/AIDS Masuk Kurikulum di Papua
HIV/AIDS masuk dalam kurikulum sekolah di Papua mulai tahun ini. Komisi Penanggulangan AIDS Nasional menilai ini penting untuk menekan laju penyebaran HIV/AIDS yang tinggi di Papua.

Anak-anak sekolah dasar di desa Taroi, Bintuni Bay, Papua (foto: dok). HIV/AIDS mulai diajarkan dari SD hingga SMA.

Penyebaran HIV/AIDS di Papua saat ini sudah mencapai tahap epidemi, karena tidak lagi hanya menyebar di kalangan resiko tinggi, tetapi juga sudah menyebar ke kelompok-kelompok lain seperti ibu rumah tangga dan juga anak-anak muda di Papua. Demikian menurut Deputi Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional Bidang Program, Fonny J. Silfanus, yang menanggapi dengan positif dimasukannya HIV/AIDS dalam kurikulum sekolah di Papua. Menurutnya, ini sangat penting untuk menekan laju penyebaran HIV/AIDS di wilayah tersebut.
Dinas Pendidikan Provinsi Papua memasukan HIV AIDS dalam kurikulum sekolah untuk tingkat sekolah dasar hingga Sekolah Menengah Atas (SMA). Fonny J. Silfanus mengatakan, "Dibanding provinsi lain tingkat epidemi di Papua bisa disebut generalized epidemic, karena sudah di atas 2,4 persen, sedangkan di provinsi-provinsi di luar Papua masih di bawah satu persen. Jadi masih rendah. Remaja juga harus diberikan pengetahuan, pengetahuan tentang HIV/AIDS, karena kita harus mencegah jangan sampai jatuh ke perilaku beresiko." Sebagian besar kasus penularan HIV/AIDS di Papua terjadi melalui hubungan seksual. Fonny J. Silafanus menambahkan pihaknya saat ini terus melakukan sosialisasi kepada masyarakat luas di Papua tentang bahaya penyakit HIV/AIDS ini. Selain itu, Komisi Penanggulangan AIDS juga melakukan sosialisasi tentang penggunaan kondom di wilayah tersebut, karena saat ini penggunaan kondom di Papua masih sangat rendah. "Penanganan HIV/AIDS di provinsi lain masih diprioritaskan kepada kelompok yang kita tahu rawan beresiko. Tetapi, di Papua penanganannya harus ditingkatkan ke seluruh masyarakat umum, jadi sosialisasi ke masyarakat umum lebih ditingkatkan," imbau Fonny J. Silafanus. Kerjasama dengan sektor agama dan penggunaan kondom masih rendah sekali, menurut Silafanus, yaitu masih sekitar 30 persen. Tujuh puluh persen sisanya, tambahnya, tidak memakai kondom secara konsisten, sehingga penularan terus terjadi. Komisioner Komnas Perempuan Sylvana Maria Apituley mendesak pemerintah agar serius menangani permasalahan HIV/AIDS di Papua yang sudah sangat tinggi. Ia mengatakan, "Perempuan muda, ibu-ibu menjadi ODHA (orang yang hidup dengan AIDS) dan sangat rentan menjad ODHA dan tingkat penyebaran di Papua adalah 16 kali lipat tingkat penyebaran nasional. Jadi, kondisi ini sudah sangat serius." Data dari Kementerian Pendidikan Nasional menyatakan bahwa dari 33 provinsi di Indonesia, baru provinsi Papua yang telah mengembangkan kurikulum HIV/AIDS.
Sumber:

ISD NASIONAL


Jumlah kasus HIV/AIDS di Indonesia berdasarkan laporan Ditjen Pengendalian Penyakit dan Pengendalian Lingkungan Departemen Kesehatan RI mengalami peningkatan. “Jumlah kasus HIV/AIDS tiap tahunnya mengalami peningkatan karena banyak masyarakat yang tertular dan baru menyadari bahwa dirinya berpenyakit HIV dan AIDS,” kata Humas Palang Merah Indonesia Kota Jakarta Timur Dewi Rahmadania, di Jakarta, Kamis. Menurut data Ditjen PPM dan PL Depkes RI, lanjut dia, dalam triwulan pertama, Januari hingga Maret 2011, dilaporkan tambahan kasus AIDS mencapai 351. “Kasus `acquired immune deficiency syndrome or acquired immunodeficiency syndrome (AIDS)` dan `human immunodeficiency virus (HIV)` terbanyak dilaporkan di DKI Jakarta sebanyak 3. 995 dan kasus HIV sebesar 15.769,” katanya. Ia menjelaskan, secara kumulatif kasus pengidap HIV/AIDS dari tanggal 1 Januari 1987 hingga Maret 2011 mencapai 24.482 kasus dengan angka kematian 4. 603 jiwa,” kata Dewi. Berdasarkan jumlah kumulatif kasus AIDS menurut jenis kelamin, yaitu laki-laki 17.840, akibat pengguna narkoba suntik (IDU) 8.553, perempuan 6.553, akibat IDU 665 dan tidak diketahui 89, akibat IDU 52. Selanjutnya, kata dia, jumlah kumulatif kasus AIDS menurut faktor resiko, yaitu akibat heteroseksual 13.000, homo-biseksual 734, IDU 9.274, transfusi darah 49, transmisi pinatal 637 dan tidak diketahui 783. Menurut dia, daerah yang rawan di Jakarta Timur atas penularan HIV, di sekitar Prumpung, Pulo Gadung, Jatinegara, Cakung, Pulo Gebang dan lain-lain. “Daerah tersebut menjadi rawan penularan HIV karena terdapat area lokalisasi dan penginapan liar, dan yang paling rawan terkena virus itu adalah kaum remaja,” kata Dewi. Dia menambahkan, penularan HIV yang cukup tinggi melalui hubungan seks yang beresiko tanpa menggunakan kondom, menggunakan jarum suntik yang sudah tercemar HIV secara bergantian, melalui transfusi darah yang tidak melalui uji saring dan melalui ibu hamil yang terkena HIV “Saat ini belum ditemukan vaksin untuk virus HIV, namun orang yang terinfeksi HIV bisa mendapatkan terapi Anti-Retroviral (ARV) ,” katanya. ARV, kata dia, berfungsi sebagai penghambat perkembangan virus, mengurangi kadar virus dalam Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) , menurunkan kadar viral load dan menaikan kadar CD4 . “Hal yang tidak menularkan HIV, yaitu berjabat tangan, berpelukan, digigit nyamuk, bersentuhan, berenang bersama, tinggal serumah dengan ODHA, menggunakan toilet yang sama, dan menggunakan alat makan dan minum yang sama. Dalam rangka menyambut hari AIDS sedunia yang jatuh pada hari Kamis ini (01/12/2011), banyak hal yang harus kembali direnungkan terkait semakin maraknya kasus HIV ADIS.  Di Indonesia sendiri, kasus penularan HIV terbilanhg cukup mengkhawatirkan. Pasalnya negeri ini disebut menjadi tempat penularan HIV tercepat di kawasan Asia Tenggara. Menurut data resmi Kementrian Kesehatan, tercatat bahwa perkembangan HIV di Indonesia sejak tahun 1987 hingga dengan September 2011 lalu telah mencapai 71.437 kasus.
Yang memprihatinkan, pengidap terbesar adalah mereka yang masih dalam usia produktif, yakni kelompok umur 20-30 tahun. Dan yang perlu diketahui, laporan tersebut belum mencerminkan data yang sesungguhnya karena kasus HIV AIDS di Indonesia dianggap seperti fenomena gunung es. Artinya, jumlah kasus yang berlum terungkap kemungkinan lebih besar dibandingkan dengan kasus yang sudah terungkap. Penyebab utama penularan HIV di Indonesia diakibatkan oleh makin maraknya seks bebas, penggunaan narkoba suntik, ditambah dengan pengetahuan masyarakat yang masih rendah. Pada kasus hubungan seksual, pola penyebaran justru lebih besar terjadi pada kalangan heteroseksual. Sebanyak 54,8 persen kasus penyebaran HIV/AIDS terjadi melalui hubungan seksual pada kelompok heteroseksual. Penyebaran melalui jarum suntik menempati posisi ke dua dengan prosentase 36,2 persen.
Pengidap HIV pun kini tidak hanya berasal dari kelompok Pekerja Seks Komersial, pria pelanggan PSK dan pengguna Narkoba suntik, namun penyumbang tingginya kasus HIV juga muncul dari kalangan masyarakat biasa, termasuk pada ibu rumah tangga.
Menteri kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih pernah mengatakan bahwa jumlah ibu rumah tangga di Indonesia yang mengidap HIV terus meroket. Hal ini tidak lepas dari kebiasaan kaum pria, khususnya suami mereka, yang sering menjadi pelanggan pekerja seks.  Adapun wilayah di Indonesia yang menjadi tempat terbesar penularan HIV-AIDS masih di pegang Provinsi DKI Jakarta (3997 orang), diikuti oleh Papua (3989 orang) serta Jawa Barat yang berada di posisi tiga (3309 orang).  Meski duduk di peringkat pertama, angka pertumbuhan dan penyebaran HIV-AIDS di jakarta masih tergolong sangat rendah jika dibandingkan dengan daerah lain. Kini pihak KPA bersama dengan BKKBN melakukan kerja sama untuk mencegah penyebaran virus mematikan ini dengan pendekatan 'Total Football', yaitu lewat penyluhan dalam ilmu agama serta komunikasi antarkeluarha dan pemberdayaan pemuda  dan masyarakat lewat pembagian materi edukasi di tempat publik.

Penanganan HIV dan AIDS di Indonesia Tertinggal

Aksi peduli HIV/AIDS bisa dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya, dengan penyebaran stiker, poster mengenai informasi dan penyadaran mengenai HIV/AIDS, seperti dilakukan Tim Peduli HIV/AIDS Universitas Atmajaya, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Jakarta, Kompas - Deteksi dini dan pemberian obat antiretroviral terbukti mampu menyembuhkan pengidap HIV/AIDS. Temuan di sejumlah negara ini memberi harapan diakhirinya pandemi HIV/AIDS. Ketua Unit Pelayanan Terpadu HIV RS Cipto Mangunkusumo Prof Zubairi Djoerban di Jakarta, Jumat (3/8), saat menyampaikan hasil Konferensi AIDS Internasional Ke-19/2012, mengatakan, penelitian menunjukkan tiga pengidap HIV disertai leukimia akut dan gangguan limfoma bisa sembuh total. Virusnya tak terdeteksi lagi. Adapun 14 pengidap HIV lain sembuh fungsional, yaitu virusnya tetap ada, tetapi tidak berkembang. Mereka langsung minum antiretroviral (ARV) selama tiga tahun begitu didiagnosis positif HIV. Kini, meski tujuh tahun tanpa obat, mereka tetap sehat. ”Di Indonesia, penggunaan ARV selama tiga tahun sulit menyembuhkan karena infeksi HIV diketahui dalam fase lanjut,” katanya. Untuk mencegah penularan HIV dari ibu kepada bayi, ibu hamil dengan HIV wajib minum ARV. Hasilnya, tak ada bayi lahir tertular HIV dari ibunya di Distrik Columbia, AS, sejak 2009. Penggunaan ARV terbukti mampu menekan infeksi baru HIV. Sejumlah negara, seperti Malaysia dan Thailand, mewajibkan semua ibu hamil mengikuti tes HIV. Jika terdeteksi, mereka langsung diberi ARV. ”Tes HIV bagi semua ibu hamil sulit dilakukan di Indonesia karena pengidap HIV masih didiskriminasi. Padahal, HIV bisa menular kepada siapa saja dan di mana saja,” kata dokter dari RS Kramat 128 Jakarta, Dyah Agustina Waluyo, yang juga hadir dalam konferensi. Kondisi HIV di Indonesia berkebalikan dengan kondisi global. Saat pertumbuhan kasus baru HIV di sejumlah negara menurun, di Indonesia malah naik. Laporan situasi perkembangan HIV/AIDS di Indonesia sampai Maret 2012 memperkirakan, 6,58 juta orang di Indonesia rawan tertular HIV pada 2009. Jumlah tertinggi berasal dari pria pelanggan pekerja seks (3,17 juta orang) dan istri mereka (1,94 juta orang). Namun, yang terdata hingga Maret 2012 baru 82.870 kasus HIV dan 30.430 kasus AIDS. Dari jumlah itu, hanya 25.817 orang yang dapat ARV. Hal ini menunjukkan tingginya kesenjangan jumlah penduduk yang rentan tertular HIV dan yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS serta mendapat terapi ARV. Deteksi dini sulit dilakukan karena tingginya diskriminasi terhadap pengidap HIV. Dyah menambahkan, penanganan HIV di Indonesia belum terintegrasi. Di negara lain, tempat tes HIV terintegrasi dengan pusat layanan kesehatan sehingga pengidap bisa langsung ditangani.

Sumber: