Ke-24 negara peserta konferensi
HIV/AIDS PBB prihatin dengan penyebaran epidemi penyakit ini di kawasan Asia
Pasifik.
Seorang
perawat dengan pasien HIV/AIDS di panti AIDS, Phra Baht Nam Phu, dekat Lopburi,
Thailand (foto: dok).
Delegasi dari 24 negara yang datang ke
pertemuan di Bangkok mengakui adanya kemajuan dalam upaya melawan HIV, virus
penyebab AIDS. Badan PBB Urusan HIV/AIDS yaitu UNAIDS, mengatakan tingkat
epidemi di kawasan Asia stabil. Dari tahun 2001 sampai 2009 tingkat penyebaran
di India, Nepal dan Thailand menurun lebih dari 25 persen, sementara di
Bangladesh dan Filipina, tingkat penyebaran naik lebih dari 25 persen.
Hambatannya adalah sulitnya akses pelayanan dan mahalnya obat-obatan anti virus
(ARV). Direktur Regional Badan PBB untuk anak-anak atau (UNICEF) wilayah Asia
Pasifik, Anupama Rao Singh mengatakan hanya 30 persen dari penderita dewasa dan
44 persen penderita anak-anak yang bisa memperoleh obat-obatan tersebut. “Upaya
pencegahan HIV masih jauh dari tingkat yang dibutuhkan untuk menurunkan jumlah
penderita HIV di berbagai kawasan berpenduduk terbanyak di dunia. Isu yang
lebih besar menyangkut stigma dan diskriminasi, UU yang telah usang, tidak
cukupnya dana dan kebijakan dalam negeri yang menyebabkan pelayanan tidak
merata tetap menjadi penghalang bagi pencegahan, pengobatan dan perawatan yang
efektif,” ujar Singh. Singh mengatakan para kepala negara di Asia perlu
mendukung program pencegahan HIV/AIDS dengan lebih baik. UNAIDS mengatakan
peraturan-peraturan di Asia yang menentang hubungan sesama jenis dan
kriminalisasi terhadap pengguna obat terlarang dan pekerja seks komersial telah
menyulitkan program pencegahan dan pengobatan, sehingga lebih banyak orang lagi
beresiko terinfeksi. Badan PBB tersebut mengatakan ada 19 negara yang masih
melarang hubungan sesama jenis dan 16 negara membatasi penderita HIV/AIDS
bepergian. Duta Besar Australia urusan HIV/AIDS Murray Proctor mengatakan
komitmen bantuan keuangan yang lebih besar dibutuhkan untuk program pencegahan
HIV/AIDS. Ia mengatakan dukungan keuangan jangka panjang bagi pencegahan HIV
adalah keprihatinan utama. Tahun 2009 dana sumbangan untuk pencegahan HIV turun
drastis pertama kalinya di seluruh dunia sejak tahun 2002. Tahun lalu, berbagai
negara menyiapkan bantuan sebesar 11,7 milliar dollar bagi dana global untuk
melawan HIV/AIDS, TBC dan Malaria. Proctor menyebutnya sebagai kemajuan besar,
tapi masih jauh dari jumlah yang dibutuhkan. Di kawasan Asia Pasifik terdapat
lima juta penderita HIV/AIDS, jumlah terbesar kedua di dunia setelah Afrika.
Menurut perhitungan WHO, pada tahun
2010 jumlah penderita kasus HIV / AIDS di benua Asia akan mencapai angka 20
juta, yakni dobel dari perhitungan sebelumnya yang diumumkan. Ini akan terjadi
jika negara negara yang bersangkutan tidak mengambil tindakan tegas mengendali
meluasnya penyakit. Estimasi online database bagi HIV/AIDS di Asia Pasific,
500,000 kasus baru akan bertambah saban tahun akibat terjangkit dari hubungan
sama seks antara laki-laki. Sementara 50 juta wanita menghadapi bahaya
terjangkit, disebabkan leh kelakuan high risk yang dipraktekkan oleh suami atau
pun teman laki-lakinya. Dikatakan juga bahwa situasi di Asia Pasfik belum
seburuk di Afrika dimana sebanyak 20%
Singapore
penduduk terjangkit, sedangkan di Asia
Pasifik angka tersebut diestimasikan sekitar 3 hingga 5%. Di website www.aidsdatahub.org terdapat data keterangan lebih
menditil mengenai penyakit, dan kebijakan masing masing pemerintah dalam
menangani masalah HIV/AIDS. Dengan adanya kesadaran dan pengetahuan mengenai
seriusnya penyakit, tidak berarti keadaan sudah dapat diatasi. Jauh sekali dari
perkiraan itu. Perlu diketahui, bahwa di Asia Pasifik terdapat 75 juta
laki-laki dengan kebiasaan mengunjungi tempat prostitusi, dan angka pekerja
seks tercatat sejumlah 10 juta orang, belum termasuk yang tidak tercatat resmi.
Ini tentunya berupa satu kondisi yang sangat mengkhawatirkan, tidak ubah dengan
time bomb yang sewaktu waktu dapat meledak, dan kasus HIV/AIDS akan berlipat
ganda dalam waktu singkat.
Lambang AIDS/HIV
Pada tahun 2007 di Singapura tercatat
3,483 kasus HIV, sampai pada akhir tahun yang sama, 1,144 dari penderita
meninggal. Ini terjadi karena mereka tidak diberi HV testing, maka tidak
di-diagnosed sebagai kasus HIV; sebuah kelalaian yang diakui oleh Menteri
Kesehatan. Kelalaian yang disebabkan karena pasien menolak dilakukan test pada
dirinya. Jika mendapat pengobatan yang layak, terlebih pula juka cepat
diketahui pada awalnya HIV pasien dapat hidup panjang seperti orang normal, dan
penyakitnya dapat terkendali, tidak sampai memburuk jadi AIDS. Perlu juga
diketahui, tidak mudah orang terjangkit HIV/AIDS yang hanya bisa terjadi
melalui persetubuhan, maka lebih mudh orang terjangkit flu. Disini nampak
adanya komplikasi yang masalahnya tidak langsung berhubungan dengan dunia
pengobatan. Karena adanya stigma sosial, banyak pesakit HIV selalu berusaha
menutupi keadaan penyakit sebenarnya. Kalau orang terkena flu, ia akan mengeluh
mengiang sepanjang hari minta perhatian, dan ia akan langsung mendapatinya
dari sanak keluarga, juga dari teman-teman dan rekan sekerja, bahkan
disuruh pulang istirahat dua hari, jika terdapat atasan yang bersimpatik terhadapnya.
Kalau orang terserang penyakit kanker, banyak yang merasa kasihan, memberi
bantuan moral agar terus bersemangat bertarung dengan penyakitnya. Tapi layanan
terhadap orang yang menghidap penyakit HIV lain sekali, besar kemungkinan ia
langsung diberhentikan kerja, dijauhi para teman, bahkan dimusuhi keluarga
sendiri karena dianggap sebagai menghianati keluarga. Demi menghindari stigma
yang lebih ganas daripada penyakit itu sendiri, jika tidak terdesak, pesakit
tidak bersedia dengan bebas mengumumkan penyakitnya. Ditambah pula dengan
tingginya beaya pengobatan antiretroviral yang mencapai $ 800 hingga $ 2,000
sebulan, beban finansiel yang tidak mampu diemban oleh banyak pesakit.
Ministry of Health - Singapore
Dengan demikian, penyakit HIV / AIDS
telah berubah dan menjelma menjadi pembunuh yang tidak bersuara, Silent Killer,
menjalar, membiak dan membunuh tanpa tantangan, jauh lebih kejam dari
pembunuhan yang dilakukan secara terang terangan. Adanya stigma dan
diskriminasi yang senantiasa menghantui, HIV/AIDS telah berkembang menjadi
penyakit yang bernuansa sosial politik. Masalah terkait sudah mulai banyak
mendapat perhatian pemerintah. Para dokter di rumah sakit yang menangani
HIV/AIDS mulai mengadakan seminar dengan maksud menambah kesadaran masyarakat
mengenai penyakit tersebut, dengan harapan dapat mengikis pandangan sempit dan
keliru terhadap pesakit. Sebuah tempat bantuan social di Singapura yang diberi
nama Barista Express Café, berupa sebuah centre yang dikelola oleh sekumpulan
pekerja bakti,
Barista Express Cafe - Singapore
memberi work training kepada mereka
yang menghadapi marginalisasi dalam masyarakat, yakni pesakit jiwa yang sudah
dinyatakan sembuh oleh rumah sakit yang merawatnya, dan mereka yang sudah
selesai menjalani hukuman penjara, juga mereka yang terserang HIV tapi menerima
pengobatan secara teratur. Mereka semua diberi latihan kerja yang memadai,
dengan tujuan membangun rasa percaya diri, dan mengembalikan mereka ke arus
masyarakat mainstream agar dapat hidup berdikari. Sebagian yang lulus training,
dalam jangka antara 3 sampai 6 bulan, atas bantuan network dari centre telah
mendapat pekerjaan tetap di luar. Ini suatu langkah yang sangat besar maknanya
bagi mereka yang selama ini hidup di bawah hukuman isolasi masyarakat. Namun kesadaran
masyarakat masih perlu ditingkatkan melalui pendidikan agar dapat menerima
kenyataan bahwa penyakit HIV / AIDS adalah masalah yang berhubungan dengan kita
semua sebagai masyarakat yang beradab.(IM)
sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar