Minggu, 04 November 2012

ISD REGIONAL


Jumlah Penderita HIV/AIDS di Asia Pasifik Terbesar Kedua Setelah Afrika
Ke-24 negara peserta konferensi HIV/AIDS PBB prihatin dengan penyebaran epidemi penyakit ini di kawasan Asia Pasifik.
Seorang perawat dengan pasien HIV/AIDS di panti AIDS, Phra Baht Nam Phu, dekat Lopburi, Thailand (foto: dok).

Delegasi dari 24 negara yang datang ke pertemuan di Bangkok mengakui adanya kemajuan dalam upaya melawan HIV, virus penyebab AIDS. Badan PBB Urusan HIV/AIDS yaitu UNAIDS, mengatakan tingkat epidemi di kawasan Asia stabil. Dari tahun 2001 sampai 2009 tingkat penyebaran di India, Nepal dan Thailand menurun lebih dari 25 persen, sementara di Bangladesh dan Filipina, tingkat penyebaran naik lebih dari 25 persen. Hambatannya adalah sulitnya akses pelayanan dan mahalnya obat-obatan anti virus (ARV). Direktur Regional Badan PBB untuk anak-anak atau (UNICEF) wilayah Asia Pasifik, Anupama Rao Singh mengatakan hanya 30 persen dari penderita dewasa dan 44 persen penderita anak-anak yang bisa memperoleh obat-obatan tersebut. “Upaya pencegahan HIV masih jauh dari tingkat yang dibutuhkan untuk menurunkan jumlah penderita HIV di berbagai kawasan berpenduduk terbanyak di dunia. Isu yang lebih besar menyangkut stigma dan diskriminasi, UU yang telah usang, tidak cukupnya dana dan kebijakan dalam negeri yang menyebabkan pelayanan tidak merata tetap menjadi penghalang bagi pencegahan, pengobatan dan perawatan yang efektif,” ujar Singh. Singh mengatakan para kepala negara di Asia perlu mendukung program pencegahan HIV/AIDS dengan lebih baik. UNAIDS mengatakan peraturan-peraturan di Asia yang menentang hubungan sesama jenis dan kriminalisasi terhadap pengguna obat terlarang dan pekerja seks komersial telah menyulitkan program pencegahan dan pengobatan, sehingga lebih banyak orang lagi beresiko terinfeksi. Badan PBB tersebut mengatakan ada 19 negara yang masih melarang hubungan sesama jenis dan 16 negara membatasi penderita HIV/AIDS bepergian. Duta Besar Australia urusan HIV/AIDS Murray Proctor mengatakan komitmen bantuan keuangan yang lebih besar dibutuhkan untuk program pencegahan HIV/AIDS. Ia mengatakan dukungan keuangan jangka panjang bagi pencegahan HIV adalah keprihatinan utama. Tahun 2009 dana sumbangan untuk pencegahan HIV turun drastis pertama kalinya di seluruh dunia sejak tahun 2002. Tahun lalu, berbagai negara menyiapkan bantuan sebesar 11,7 milliar dollar bagi dana global untuk melawan HIV/AIDS, TBC dan Malaria. Proctor menyebutnya sebagai kemajuan besar, tapi masih jauh dari jumlah yang dibutuhkan. Di kawasan Asia Pasifik terdapat lima juta penderita HIV/AIDS, jumlah terbesar kedua di dunia setelah Afrika.
Menurut perhitungan WHO, pada tahun 2010 jumlah penderita kasus HIV / AIDS di benua Asia akan mencapai angka 20 juta, yakni dobel dari perhitungan sebelumnya yang diumumkan. Ini akan terjadi jika negara negara yang bersangkutan tidak mengambil tindakan tegas mengendali meluasnya penyakit. Estimasi online database bagi HIV/AIDS di Asia Pasific, 500,000 kasus baru akan bertambah saban tahun akibat terjangkit dari hubungan sama seks antara laki-laki. Sementara 50 juta wanita menghadapi bahaya terjangkit, disebabkan leh kelakuan high risk yang dipraktekkan oleh suami atau pun teman laki-lakinya. Dikatakan juga bahwa situasi di Asia Pasfik belum seburuk di Afrika dimana sebanyak 20%
Singapore
penduduk terjangkit, sedangkan di Asia Pasifik angka tersebut diestimasikan sekitar 3 hingga 5%. Di website www.aidsdatahub.org terdapat data keterangan lebih menditil mengenai penyakit, dan kebijakan masing masing pemerintah dalam menangani masalah HIV/AIDS. Dengan adanya kesadaran dan pengetahuan mengenai seriusnya penyakit, tidak berarti keadaan sudah dapat diatasi. Jauh sekali dari perkiraan itu. Perlu diketahui, bahwa di Asia Pasifik terdapat 75 juta laki-laki dengan kebiasaan mengunjungi tempat prostitusi, dan angka pekerja seks tercatat sejumlah 10 juta orang, belum termasuk yang tidak tercatat resmi. Ini tentunya berupa satu kondisi yang sangat mengkhawatirkan, tidak ubah dengan time bomb yang sewaktu waktu dapat meledak, dan kasus HIV/AIDS akan berlipat ganda dalam waktu singkat.
Lambang AIDS/HIV
Pada tahun 2007 di Singapura tercatat 3,483 kasus HIV, sampai pada akhir tahun yang sama, 1,144 dari penderita meninggal. Ini terjadi karena mereka tidak diberi HV testing, maka tidak di-diagnosed sebagai kasus HIV; sebuah kelalaian yang diakui oleh Menteri Kesehatan. Kelalaian yang disebabkan karena pasien menolak dilakukan test pada dirinya. Jika mendapat pengobatan yang layak, terlebih pula juka cepat diketahui pada awalnya HIV pasien dapat hidup panjang seperti orang normal, dan penyakitnya dapat terkendali, tidak sampai memburuk jadi AIDS. Perlu juga diketahui, tidak mudah orang terjangkit HIV/AIDS yang hanya bisa terjadi melalui persetubuhan, maka lebih mudh orang terjangkit flu. Disini nampak adanya komplikasi yang masalahnya tidak langsung berhubungan dengan dunia pengobatan. Karena adanya stigma sosial, banyak pesakit HIV selalu berusaha menutupi keadaan penyakit sebenarnya. Kalau orang terkena flu, ia akan mengeluh mengiang sepanjang hari minta perhatian, dan ia akan langsung mendapatinya dari  sanak keluarga, juga dari teman-teman dan rekan sekerja, bahkan disuruh pulang istirahat dua hari, jika terdapat atasan yang bersimpatik terhadapnya. Kalau orang terserang penyakit kanker, banyak yang merasa kasihan, memberi bantuan moral agar terus bersemangat bertarung dengan penyakitnya. Tapi layanan terhadap orang yang menghidap penyakit HIV lain sekali, besar kemungkinan ia langsung diberhentikan kerja, dijauhi para teman, bahkan dimusuhi keluarga sendiri karena dianggap sebagai menghianati keluarga. Demi menghindari stigma yang lebih ganas daripada penyakit itu sendiri, jika tidak terdesak, pesakit tidak bersedia dengan bebas mengumumkan penyakitnya. Ditambah pula dengan tingginya beaya pengobatan antiretroviral yang mencapai $ 800 hingga $ 2,000 sebulan, beban finansiel yang tidak mampu diemban oleh banyak pesakit.
Ministry of Health - Singapore
Dengan demikian, penyakit HIV / AIDS telah berubah dan menjelma menjadi pembunuh yang tidak bersuara, Silent Killer, menjalar, membiak dan membunuh tanpa tantangan, jauh lebih kejam dari pembunuhan yang dilakukan secara terang terangan. Adanya stigma dan diskriminasi yang senantiasa menghantui, HIV/AIDS telah berkembang menjadi penyakit yang bernuansa sosial politik. Masalah terkait sudah mulai banyak mendapat perhatian pemerintah. Para dokter di rumah sakit yang menangani HIV/AIDS mulai mengadakan seminar dengan maksud menambah kesadaran masyarakat mengenai penyakit tersebut, dengan harapan dapat mengikis pandangan sempit dan keliru terhadap pesakit. Sebuah tempat bantuan social di Singapura yang diberi nama Barista Express Café, berupa sebuah centre yang dikelola oleh sekumpulan pekerja bakti,

Barista Express Cafe - Singapore
memberi work training kepada mereka yang menghadapi marginalisasi dalam masyarakat, yakni pesakit jiwa yang sudah dinyatakan sembuh oleh rumah sakit yang merawatnya, dan mereka yang sudah selesai menjalani hukuman penjara, juga mereka yang terserang HIV tapi menerima pengobatan secara teratur. Mereka semua diberi latihan kerja yang memadai, dengan tujuan membangun rasa percaya diri, dan mengembalikan mereka ke arus masyarakat mainstream agar dapat hidup berdikari. Sebagian yang lulus training, dalam jangka antara 3 sampai 6 bulan, atas bantuan network dari centre telah mendapat pekerjaan tetap di luar. Ini suatu langkah yang sangat besar maknanya bagi mereka yang selama ini hidup di bawah hukuman isolasi masyarakat. Namun kesadaran masyarakat masih perlu ditingkatkan melalui pendidikan agar dapat menerima kenyataan bahwa penyakit HIV / AIDS adalah masalah yang berhubungan dengan kita semua sebagai masyarakat yang beradab.(IM)

sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar