TUGAS TULISAN KE-4
Negeri Para
Pengamat Oleh : Ismail Fajrie Alatas Beberapa bulan terakhir ada fenomena
menarik di Youtube. Sebuah tim kreatif yang berbasis di Yogyakarta menghadirkan
acara talkshow mingguan dengan seorang “pengamat” bernama Toni Blank. Toni
bukanlah pengamatan kawakan. Dia bukan akademis atau saka guru yang biasa
berkhotbah di mibar-mimbar universitas. Dia juga bukan seorang kolumnis yang
rajin mengomentari hiruk pikuk politik media massa. Toni seorang warga
Yogyakarta yang entah bagaimana, telah dibaiat sebagai pengamat serba bisa yang
mampu berkomentar tentang berbagai hal : mulai dari politik, hukum, ekonomi,
hukum, hingga kesenian dan tabung elpiji. Menariknya, komentar-komentar Toni
tidak dapat dipahami. Dalam mengartikulasikan sebuah masalah, pembahasan Toni
sangat tidak koheren dan terkesan “ngawur”. Kesulitan untuk memahami diperdebat
penggunaan kata-kata jargon yang kerap kita dengar di media cetak dan
elektronik, seperti “good govverment”, “fakta”, “ranah publik”, “wacana”,
“civil society”, “sektor ekonomi produk” dan “law enforcement”. Sebagai contoh,
sang pengamat ditanya: - Mas Toni tahu KPK? - KPK adalah suatu komisi
pemberantasan koruptor atau yang disebut dengan MACC, mass organization
commitment human rights. DISKURSUS SOSIAL Toni blank show adalah sebuah parodi.
Toni diangkat sebagai pengamat karena dia menguasai kata-kata kunci dan
jargon-jargon yang biasa digunakan oleh para pengamat. Sebuah lelucon apik
justru karena kata-kata tersebut kerap digunakan walaupun pada akhirnya
kehilangan makna. Yang penting hanyalah penggunaan bahasa, bukan isi dan
koherensi wacana. Dengan kata lain, Toni blank show adalah sebuah lelucon yang
menertawai diskursus sosial politik kita dewasa ini. Komentar dan pengamatan
ini semakin menarik karena kata-kata yang digunakanya begitu kerap terdengar
dari mulut para pengamat. Toni menggunakan kata-kata tersebut secara simplitis
dan eksesis sehingga menghasilkan parodi atas penggunaan kata-kata tersebut
dimedia cetak dan elektronik. Lewat acara parodi tersebut Tono akan
menertawakan para pengamat di Indonesia yang kerap mengomentari permasalahan
politik, sosial dan ekonomi, tetapi sering kali sulit dipahami. Semakin banyak
jargon yang digunakan, wacana semakin tampak berwibawa dan substansial.
Sepertinya, Toni blank show adalh sebuah kritik terhadap republik ini yang
semakin hari semakin terlihat seperti negeri para pengamat. Tiada hari kita
lewati tanpa membaca dan melihat komentar pengamat. Sebenarnya tidak ada yang
salah dalam hak menyuarakan pengamatan. Justru dalam sebuah demokrasi kepekaan
terhadap berbagai permasalahan adalah hal positif. Fenomena ini menunjukkan,
masyarakat semakin terlibat dalam proses demokratisasi. Namun yang jadi masalah
justru pengemasan wacana publik dalam bahasa yang makin kurang dipahami oleh
masyarakat pada umumnya. Para pengamat menggunakan jargon-jargon yang diangkat
dari ilmu sosial dan ekonomi untuk mengemas pendapat mereka hingga mencapai
tinglkat eksesif. Ekses tersebut kemudian menghasilkan pengamburan dari
permasalahan yang sedang dibahas. Hasilnya adalah munculnya ideologi bahasa
yang telah banyak dibahas oleh para antropolog linguistik. Kata-kata yang
digunakan oleh para pengamat di Indonesia diangkat dari teks-teks ilmu sosial.
Semua orang dapat mengajukan pendapat seputar permasalahan yang ada. Namun,
untuk dikenal sebagai pengamat serius. Seseorang harus dapat berakrobat dengan
bahasa teknis ilmu sosialsehingga menghasilkan wacana sosial-teoritis yang
dianggap representatif untuk dihadirkan dimedia. Efek sampingnya justru wacana tersebut
semakin terceraikan dari realitas permasalahan yang ada.. Pengakuan
intelektualitas Pada akhirnya, menonton beberapa episode Toni blank show terasa
sangat membosankan karena analisis dan kata-kata yang digunakan terasa
repetitf. Dalam hal ini, sebenarnya ada sebuah argumen lain dari talk show
tersebut. Karena penggunaan jargon yang berulang-ulang Toni blank show dapat di
pahami sebagai sebuah kritik terhadap para pengamat yang tak kunjung henti
menggunakan bahasa yang sama dalam mengomentari masalah yang berbeda. Tendensi
seperti ini juga kerap kita temui dalam membaca dan mendengarkan para pengamat.
Karena seringnya muncul di media, banyak dari mereka mengulangi poin yang sama
walau pertanyaannya berbeda. Inilah salah satu efek dari ideologi bahasa.
Dimana bahasa yang digunakan jadi jauh lebih penting dari pada realitas dan
substansi yang dibicarakan. Alhasil yang ada justru reafirmasi dari status
akademik dan pendakuan intelektualitas para komentator sebagai mereka yang
menguasai baha teknis guna memahami permasalahan sosial. Hasilnya adalah perang
wacana dan perdebatan tak kunjung henti, justru disaat pragmatisme sangat
dibutuhkan. Tidak heran jika republik ini semakin terlihat saperti negeri para
pengamat. Sumber : Ismail Fajrie Alatas (mahasiswa Program Doktoral Sejarah dan
Antropologi di Universitas Michigan, AS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar