Lestari merangkul pria di hadapannya.
“Jangan pergi lagi mas!” ujarnya pelan. Matanya memohon pada pria yang
berdiri kokoh di dekapannya.
“Aku tak bisa.” Pria itu mencoba melepaskan eratnya dekapan wanita
berketurunan Jawa-Sunda itu.
Suara-suara alam membahama. Kesunyian yang terbentuk meneteskan air mata
kerinduan. Pria itu baru datang pagi ini. Lima tahun sudah pria yang pernah
memberikan ketulusan cinta padanya tujuh tahun silam meninggalkannya.
“Kau tidak kangen dengan anak kita, Wulan?” ucapan Lestari makin bergetar.
Matanya yang bening mulai memerah. Ia tak mampu mengatur napasnya lagi. Dadanya
naik-turun tak menentu.
Seorang bocah perempuan berdiri di belakang kaki Lestari. Sesekali bocah
itu melongok ke arah pria yang membuat ibunya menangis itu. Ada kebencian yang
menelisik di hati bocah itu. Namun ada pula kerinduan yang teramat, terpendam
di sisa-sisa isak masa lalunya.
“Aku tak mau lagi kau hanya menemuiku lewat sebuah surat berisi sejumlah
nafkah saja, begitu menyakitkan.”
“Tiap kali tetangga kita bertanya, di mana kau Mas? Sudahkan kau lupa
tentang aku? Awalnya mereka maklum karena kau bekerja di kota sana, di Jakarta.
Satu tahun, dua tahun, lalu lima tahun kau baru pulang tanpa kabar sebelumnya.
Ke mana saja kau, Mas?” lanjut Lestari. Kristal air mengalir. Pipinya basah.
Pria itu tak bergeming dari tempatnya. Gunung ego yang kokoh menanamkan
akarnya pada kerak bumi. Pria itu membalikkan badannya.
“Aku tahu itu, Tari. Aku pun rindu pada anak kita, tapi aku tak bisa.”
“Kenapa tak bisa, Mas? Apa yang sudah kau lakukan di kota sana? Apa kau
bertemu dengan wanita lain yang lebih menarik di sana sehingga kau tak mau
kembali lagi ke sini selama lima tahun?” isak itu mulai terdengar jelas. Pria
itu mulai gelisah. Akar-akar egonya mulai tercabut satu demi satu.
Pria itu menggeleng. Bayangan kebahagiaan bersama isteri dan anaknya
ditampik. Bayangan kebahagiaan yang tak dibutuhkannya saat ini.
“Sekali lagi maafkan aku, Tari, aku tak bisa.” Pria itu melenggang pelan.
Sebelum itu, ia melirik ke arah bocah kecil yang bersembuyi di belakang
Lestari. Ia menghembus napas panjang, lalu tersenyum ke arah bocah itu.
Kau sudah tumbuh menjadi wanita yang
cantik, gumam pria itu dalam hati.
Pintu tertutup. Angin siang yang menyengat terasa dingin. Lestari hanya
diam menatap kesendiriannya lagi, semuanya terjadi begitu cepat. Belum setengah
hari pria itu kembali. Kini ia sudah pergi.
“Siapa orang itu, Bu?” Wulan yang dari tadi bersembunyi mulai berani
berkata, dengan nada terbata. Matanya mengisyaratkan rasa ingin tahu yang
sangat besar. Wulan merasakan adanya kedekatan hati ketika pria itu tersenyum
padanya tadi. Kedekatan yang sudah lama ia nantikan. Entah apakah itu, Wulan
sendiri tak mengerti. Ia hanya merasakan sayang begitu dalam yang tak
tersampaikan.
“Dia bukan siapa-siapa, Nak.” Lestari mengusap pipinya yang terasa basah.
“Kenapa Ibu menangis?” isak Lestari masih terdengar. Meskipun ia sudah
berusaha menahan matanya agar tidak berair lagi.
Lestari membisu. Lidahnya kelu. Mas
Seno kenapa kau pergi lagi? jeritnya keras, memantul dalam relung
hatinya yang sudah lama terluka.
♣♣♣
“Lestari, maukah kau menikah denganku?”
Lestari terkejut. Mukanya yang putih bersih memerah seperti warna langit
biru yang terhias lukisan pelangi, sangat indah.
“Kenapa kau diam, Tari? Apa kau tak suka, aku mengatakan hal ini padamu?”
“Bukannya begitu, aku sangat suka akhirnya kau mengatakan hal itu padaku.”
“Lalu?” Seno memandang lekat wanita di hadapannya. Ia menanti bibir wanita
itu bergetar menjawab tanda tanya besar yang mematung dalam pikirannya kini.
“Bagaimana dengan orang tua kita? Apa mereka setuju? Bukankah mereka pernah
mengatakan bahwa kau harus bekerja dulu sebelum kita menikah?”
“Oh, jadi itu masalahmu.” Seno tersenyum. “Jangan khawatir aku bisa
mengusahakannya kelak ketika kita sudah berkeluarga.”
“Mengusahakannya?” Lestari tak mengerti, kata-kata itu seperti sebuah
apologi yang sering ia dengar dari kebanyakan kisah sejenis yang dialaminya.
Sebuah ketidakpastian yang mampu menjerumuskan dirinya dan diri pria itu.
“Ya, kebetulan beberapa hari yang lalu aku dihubungi pamanku yang ada di
kota. Katanya ada lowongan kerja yang cocok untukku,” ujar Seno berapi-api.
“Lowongan kerja apa? Bukankah SMK saja kau tak tamat?” hati Lestari masih
menggetarkan nada keraguan. Ada semacam rasa tidak percaya yang kuat dalam
dadanya. Namun ia juga merasakan getar kesungguhan dari ucapan Seno. Dua
perasaan itu bertarung kuat dalam hatinya.
“Aku memang tak tahu pekerjaan apa yang akan aku dapatkan di kota kelak.
Tapi aku yakin bahwa pekerjaan itu mampu memberikan nafkah yang cukup bagi
kita.” Seno menggenggam erat tangan Lestari. “Yakinlah padaku, Tari,” bisik
Seno.
Lestari mengangguk pelan.
“Aku percaya padamu, Mas.”
Mereka berdua tersenyum, sebuah kebahagiaan yang mereka nantikan akhirnya
tiba. Udara senja memberikan kehangatan dalam hati mereka. Mentari turun
perlahan, turut memberikan ucapan bahagia untuk sepasang sejoli yang tersenyum
padanya. Tersenyum pada suasana yang akan berganti, menjadi suasana syahdu
penuh rasa syukur.
♣♣♣
“Saya terima nikahnya Lestari Dwi Astuti binti Muhammad Asep Syaefudin
dengan mas kawin seperangkat alat shalat tunai,” Seno mengucapkan kata-kata itu
dengan lantang.
Suara syukur, penuh puji-pujian bergemuruh.
Lestari dan Seno saling berpandangan. Mata mereka beradu. Sesaat muka
mereka berdua memerah diiringi dengan senyum malu keduanya. Orang-orang yang
berada disekitar mereka turut tersenyum, menyambut kebahagiaan mereka.
“Aku akan selalu menjagamu, Lestari,” bisik Seno di sela-sela kebahagiaan
mereka. Lestari tersipu.
“Aku juga akan setia padamu, Mas” ujar Lestari pelan.
Gemuruh rasa itu membuncah kembali pada dada Lestari. Tangisannya pecah.
Kamar berukuran 4×6 nya terasa lebih sempit baginya. Sesempit hatinya yang
kehilangan hal yang disayanginya.
Ia merindukan rasa yang dulu. Rasa ketika pertama kali kata cinta pria itu
ucapkan padanya. Rahmat Suseno.
Dimana kau, Suamiku? Tidakkah kau
merindukanku? Benarkah rasa sayang dan cintamu sudah habis untukku? Benarkah di
kota sana kau bertemu dengan wanita yang jauh lebih cantik dariku?
Air mata Lestari terus menganak. Hatinya pun terbelah menjadi beberapa
bagian. Satu rasa kesedihan, satu rasa keletihan, satu lagi rasa kerinduan.
Entah rasa mana yang paling ia rasakan kali ini. Semua rasa itu bercampur
menjadi satu.
“Ibu menangis lagi?” Wulan melongok dari balik pintu.
Lestari cepat mengusap matanya. Kesedihan ini tak pantas menjadi bagian
anak manis yang masih termangu di balik pintu. Ia masih terlalu lugu untuk
mengenal rasa sakit dan pedih.
“Tidak, Nak. Ibu tidak menangis, Ibu hanya mengkhawatirkan kamu, Wulan,”
suara itu terdengar parau. Ia masih tidak bisa menyembunyikan kesediahannya. Ia
mencoba untuk menahan rasa sakit yang masih lekat ia rasakan.
“Ibu mengkhawatirkan Wulan?” Mata bocah itu berseri juga penuh tanya. “Apa
yang ibu khawatirkan?” lanjut bocah itu. Badan kecilnya menggelayut manja di
pangkuan Lestari.
“Ibu mengkhawatirkan kebahagiaan Wulan,” ucap Lestari. Tangannya menyapu
lembut rambut bocah kecil berumur enam tahun itu.
“Kebahagiaan? Apa itu kebahagiaan, Ibu?” Bocah itu menatap Lestari dengan
mata berseri. Dekapannya semakin kuat, seolah tak mau kehilangan sesuatu yang
diinginkannya.
“Kebahagiaan itu sesuatu yang indah. Jika Wulan bahagia berarti Wulan sudah
mendapatkan apa yang Wulan inginkan. Wulan punya mimpi dan keinginan kan?”
tanya Lestari pelan. Bocah itu mengangguk mantap.
“Mimpi Wulan adalah bisa bertemu dengan Ayah.” Mata bocah itu berbinar
terang. Kesungguhan dan kebulatan tekad terpancar di sana. Lestari tak tahan
melihatnya.
“Kapan Ayah pulang, Bu?”
Wulan merenggangkan dekapannya. Ia mencari jawaban pasti dari mulut ibunya.
“Sabar ya, Nak. Tahun baru ini semoga Ayah bisa pulang.”
“Benarkah itu, Bu?” Wulan tersenyum lebar. “Wulan ingin kalau Ayah pulang
membawa oleh-oleh yang banyak buat Wulan. Ada boneka, rumah-rumahan, sampe
makanan yang banyak, boleh kan, Bu?”
Lestari tersenyum kecut, tak tega rasanya membuat bayangan indah bocah itu
mengabur. Ia hanya mengangguk lalu mengecup kening halus Wulan.
Wulan terus bercerita. Semakin ia mendengar celoteh impian bocah itu, dada
Lestari semakin sesak. Benarkah perbuatannya kali ini, membohongi harapan dan
impian anaknya? Lestari hanya bisa meratap dalam hati.
Di hadapan anaknya ia selalu mencoba tersenyum. Ia tak ingin anaknya tumbuh
dalam suasana kesedihan. Kebahagiaan Wulan adalah hal yang paling berarti
baginya.
Maaf ya nak, jeritan pilu di hatinya terdengar parau.
♣♣♣
“Bu Tari, Bu Tari, Wulan, Bu!” seorang wanita paruh baya datang dengan
tergesa. Peluh yang deras menentes menunjukkan kegelisahan yang sangat.
“Kenapa dengan Wulan, Bu Raida? Apa dia nakal lagi di sekolah?”
Bu Raida menggelengkan kepala. Ia salah seorang guru taman kanak-kanak yang
mengajar Wulan.
“Lalu?” Lestari mendadak pucat. Ada rasa
khawatir yang mendadak muncul.Adakah hal buruk yang terjadi terhadap Wulan?
“Wulan mendadak pingsan di sekolah. Sekarang ia sudah dibawa ke puskesmas
di desa sebelah.”
Lestari limbung. Kepalanya seakan mendapat hujan ribuan jarum dari langit.
Gelegar petir yang menyambar menambah sakit dalam sengatan pikirannya. Awan
hitam menggelayut. Pandangan matanya mulai mengabur oleh rintik-rintik air yang
deras menetes.
“Ayo kita ke sana, Bu.” Lestari menarik tangan Bu Raida.
Bu Raida mengangguk. Ia juga pernah merasakan rasa kehilangan. Putranya
delapan bulan yang lalu sakit keras yang membuat ia harus meneteskan air mata
kehilangan.
“Bagaimana keadaan anak saya, Dok?” kata Lestari sesampainya di sebuah
puskesmas kecil di desa sebelah.
Kondisi bangunan itu terlihat kurang terawat. Pintu depan puskesmas itu
nampak usang. Rayap-rayap sudah memakan bagian bawah kotak kayu itu. Taman di
depan puskesmas tak terawat, tanpa sebuah tanaman indah yang menghias. Begitu
juga di dalam ruangan. Tak ada barang yang bisa dikatakan berharga lagi.
Lestari mengelus dada. Beginikah
kondisi pelayanan kesehatan di daerahku? Pantas orang-orang jarang pergi ke
puskesmas. Mereka lebih memilih untuk pergi ke Pak Mantri di desanya.
Seorang dokter muda memainkan kacamatanya. Nampak bahwa ia masih hijau akan
pengalaman. Keringat dingin menetes dari keningnya.
“Anak Ibu, kena Hepatitis B.”
“Hepatitis B!” Mata Lestari membelalak. “Apa ia bisa disembuhkan, Dok?”
“Bisa, tapi tidak di tempat ini. Peralatan di puskesmas kurang memadai. Ibu
harus membawanya ke rumah sakit di kota,” papar dokter itu.
Di kota? Kenapa desa seolah merupakan
tempat terpencil yang terabaikan? Kadang Lestari merasa kesal dengan kondisi
ini. Desa seakan menjadi daerah marginal yang kehilangan perhatian. Ahh, di
manakah janji-janji parai politisi itu saat kampanye dulu?
“Terima kasih, Dok,” ucap Lestari singkat sembari memberikan beberapa
lembar uang puluh ribuan kepada dokter itu.
“Terima kasih,” kata dokter itu tanpa ada tindak lanjut setelahnya. Ia
tersenyum lebar.
“Ayah, Ayah…,” dalam pelukan Lestari, Wulan mengigau pelan. Suara yang
bersumber dari keletihan hati gadis kecil itu.
Aku harus mencarinya! Tekad itu tepancang bulat dalam hati Lestari.
♣♣♣
Suasana kota siang ini begitu menyengat. Udara-udara kotor kota semakin
menambah keresahan hati seorang wanita muda yang berjalan tertatih. Sudah
hampir dua hari ini Lestari menyusuri kota. Daerah kumuh hingga pertokoan yang
menjulang tinggi sudah ia kunjungi. Hasilnya nihil.
Di mana kau, Rahmat Suseno? Hati Lestari gerimis.
Senja menjelang. Lestari merasa sangat lelah. Bukan hanya kelelahan fisik
yang ia rasakan, hatinya juga lelah mencari ketidakpastian dan kerinduan yang
diimpikannya.
Lestari menyandarkan diri pada bangku
halte bus di dekat traffic light.
Malam merayap. Sudah genap dua hari ia pergi meninggalkan Wulan. Entah
kebohongan apa yang akan ia sampaikan lagi pada gadis kecilnya itu sesampainya
di desa.
Tapi…
Sebentar!
Lestari melihat sosok yang dikenalnya melenggok di perempatan jalan. Tapi
Lestari merasa ada yang berbeda dengan sosok itu.
Benarkah itu dia? Lestari menerka. Ia berjalan mendekati sosok yang sedang
bergerombol bersama teman-teman sejenisnya itu.
“Mas Seno? Benarkah itu kau, Mas?”
Seorang pria dengan berbagai riasan di wajah membalikkan badan. Mukanya
pias. Tatapan Lestari menelanjangi dirinya. Seno menunduk malu.
“Ada apa denganmu, Mas? Jadi selama ini…” Suara Lestari terdengar serak. Ia
berlari sekencang-kencangnya. Ia tak bisa menerima kenyataan yang baru saja
dilihatnya.
Seno mengejar wanita itu. “Tari tunggu!”
“Sani, sani, mau kemana kamu.” Lestari
mendengar nama seseorang disebut.Jadi namamu di kota Sani, Mas?! jerit
Lestari dalam hati.
Seno hampir saja berhasil mengejar Lestari. Bis malam yang melintas membuat
perjuangannya berakhir.
“Tari, tunggu!” Lestari sempat mendengar sayup teriakan parau itu. Namun,
telinga Lestari telah tertutup oleh rasa sakit yang mendera batinnya.
Bis malam yang ditumpanginya berhenti di sebuah lampu merah. Perempatan
jalan itu nampak lenggang. Namun sebuah lukisan pemandangan membuat hati
Lestari menjerit.
Beberapa pria berpakaian mini dengan wajah penuh riasan melenggok pelan,
menggoda setiap pengendara yang melintas.
Entah di perempatan mana kau
melenggokkan badanmu, Mas, jeritan Lestari membuat siapa
saja yang mendengarnya terenyuh.
Bayangan sejuta tanya anaknya sudah ia rasakan. Tanya dengan sebuah tawa
mengembang yang akan menyambutnya. “Mana Ayah, Bu?” Pertanyaan itu membuat
hatinya semakin sakit.
Lampu hijau menyala. Bis malam kembali melaju, meninggalkan lenggokan manja
yang menggoda.
Lestari membiarkan pipinya basah.
membiarkan harapan itu hilang dan kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar